RABIAH AL-ADAWIYAH Kata akhlak berasal dari bahasa Arab yang sudah dijadikan bahasa Indonesia; yang diartikan juga sebagai tingkah laku, perangai atau kesopanan. Kata akhlaq juga merupakan jama' taksir dari kata khuluq, yang sering juga diartikan dengan sifat bawaan atau tabiat, adat-kebiasaan dan agama.
loading...Ilustrasi Rabiah Al-Adawiyah Sejak aku mengenal-Nya, aku berpaling dari makhluk-makhluk-Nya. Photo ilustrasi Theglobalvariety/deviant art Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul Tadhkirat al-Auliya’ dan diterjemahkan ke bahasa Inggris Arberry menjadi Muslim Saints and Mystics menceritakan bahwa suatu hari Rabiah Al-Adawiyah jatuh sakit. Dia ditanya apa penyebabnya.“Aku memandang Firdaus,” jawabnya, “Dan Tuhanku mendisiplinkanku.” Baca Juga Kemudian Hasan al-Basri pergi untuk menjenguknya. “Aku melihat salah satu pemuka Basra berdiri di depan pintu rumah Rabiah, dia ingin memberikan pundi emasnya dan menangis,” kata Hasan bercerita. “Aku berkata, Tuan, mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, Karena wanita suci zaman ini, karena jika berkah kehadirannya hilang dari umat manusia, mereka pasti akan binasa. Aku membawa sesuatu untuk biaya perawatannya, dan aku khawatir dia tidak mau menerimanya. Apakah engkau mau mengambil dan memberikannya untuk dia?’.”Lalu Hasan masuk dan berbicara. Rabiah menatapnya dan berkata, “Dia menafkahi mereka yang menghina-Nya, dan tidak akankah Dia menafkahi mereka yang mencintai-Nya?Sejak aku mengenal-Nya, aku berpaling dari makhluk-makhluk-Nya. Aku tidak tahu apakah harta seseorang halal atau tidak; lalu bagaimana aku bisa menerimanya? Aku pernah menjahit pakaianku yang rusak dengan cahaya dunia. Untuk sesaat hatiku terlena, hingga aku tersadar. Lalu aku merobek pakaian itu di tempat aku menjahitnya, dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepada tuan itu mendoakanku agar jangan sampai hatiku terlena.” Baca Juga Pada hari lainnya, Hasan al-Basri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq al-Balkhi pergi menjenguk Rabiah di pembaringannya.“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Hasan memulai, “jika dia tidak tabah menerima ujian dari Tuhannya.”“Kata-kata ini berbau egoisme,” kata Rabiah menanggapi.“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Syaqiq mencoba, “jika dia tidak bersyukur atas ujian dari Tuhannya.”“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” kata Rabiah.“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Malik juga mencoba, “jika dia tidak bergembira atas ujian dari Tuhannya.”“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” ulang Rabiah.“Lalu bagaimana menurutmu?” desak mereka.“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” kata Rabiah, “jika dia tidak melupakan ujian dalam merenungi Tuhannya.” Baca Juga mhy
MakalahRabi'atul 'Adawiyah Perkembangan Pemikiran Islam Oleh : Zulkhairi Menurut al-Sarraj seperti yang dikutip Harun nasution, mahabbah mempunyai tiga tingkat : 1. Cinta biasa. Yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
Rabi'ah Al-'Adawiyyah adalah seorang ulama perempuan yang dikenal dengan kesucian hatinya sebagai sufi perempuan. Karena kesuciannya itu, Rabiah enggan menikah dengan manusia dan tetap memilih Sang Kekasih sejati sebagai kekasihnya. Berikut di bawah ini lima kalimat bijak kerinduan Rabi'ah Al-'Adawiyyah, seorang sufi yang hidupnya selalu dimabuk cinta oleh Kekasihnya Kata Bijak Pertama baca juga 10 Kata Bijak Sunan Kalijaga ini Bikin Hati Adem dan Tentram 15 Kata Bijak Gus Dur, Dijamin Termotivasi Membacanya 5 Kata Bijak Ibnu 'Athaillah As-Sakandari, Bikin Hati Adem dan Tentram "Tuhanku, jika aku mengabdi kepada-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika aku mengabdikepada-Mu karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku daripadanya. Tetapi jika Kau kupuja karena Engkau, janganlah Engkau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal dariku." Kata Bijak Kedua "Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan, orang-orang telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci, dan tiap kekasih telah menyendiri dengan kekasihnya, dan inilah aku di hadirat-Mu." Kata Bijak Ketiga "Tuhanku, malam telah berlalu dan siangpun segera menampakkan diri. Aku gelisah, apakah amalanku Kau terima hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolak hingga aku merasa sedih. Demi kemuliaan-Mu, inilah yang aku lakukan selama Engkau beri hayat. Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku." Kata Bijak Keempat
Katafamily saya, nama saya sempena seorang wanita sufi yang cukup terkenal dalam sejarah ISLAM: RABIAH AL-ADAWIYAH. Maka, saya diberi nama RABIATUL ADAWIYAH . +2. MAKNA @ MAKSUD+. Saya tak pernah kisah dengan maksud nama saya ni masa kecik-kecil. Cuma yang saya tahu nama saya sempena tokoh wanita ISLAM jek.
Rabi’ah al-Adawiyah adalah sedikit dari ulama sufi perempuan yang sangat disegani dalam sejarah peradaban Islam. Pemikiran dan laku spiritualnya terus dikaji hingga hari ini. Berbagai macam kisah hidupnya pun sudah banyak dikupas dan ditulis dalam banyak buku. Termasuk soal ajaran cinta mahabbah. Selain Jalaluddin Rumi, Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang sufi yang mengusung mazhab cinta. Cintanya kepada Allah begitu dalam dan kuat. Sehingga ia tidak mampu mencintai yang lainnya karena cintanya hanya untuk Allah. Rabi’ah menyembah Allah dengan dasar cinta hubb, bukan karena takut atau harap roja’ dan khauf sebagaimana kebanyakan orang. Karena saking cintanya kepada Allah, Rabi’ah pernah berujar bahwa ia tidak mendambakan surga dan tidak takut kalau dimasukkan dikenal sebagai sebagai hamba yang sangat patuh dan taat kepada Allah. Bahkan, setiap hembusan nafasnya selalu diiringi dengan dzikir kepada Allah. Dalam urusan beribadah kepada Allah, ia adalah orang sangat istiqomah. Ketaatan yang begitu tinggi kepada Allah membuatnya dikenal sebagai waliyullah wali Allah. Memang, ada ungkapan bahwa hanya wali Allah yang mengetahui wali Allah lainnya la ya’riful wali illa wali. Tapi sebagaimana yang dikemukana oleh Syekh Zarruq, setidaknya ada tiga sifat yang dimiliki seorang wali; mengutamakan Allah, hatinya berpaling dari makhluk-Nya, dan berpegang tegug pada syariat Nabi Muhammad SAW dengan benar. Jika merujuk pada indikator ini, maka Rabi’ah adalah memang seorang ketiga tanda tersebut, seorang waliyullah biasanya’ memiliki karomah sesuatu yang berbeda dari sewajarnya. Dalam hal ini, Rabi’ah juga memiliki cerita dan kisah yang menggambarkan karomahnya. Berikut adalah sejumlah karomah yang dimiliki oleh Rabi’ah al-Adawiyah sebagaimana yang tercantum dalam buku Rabi’ah; Pergulatan Spiritual Perempuan karya Margaret Smith. Pertama, ketika Rabi’ah sedang jalan-jalan di sebuah pegununang, ada banyak binatang buas yang mendekatinya. Anehnya, binatang-binatang tersebut tidak menyerang Rabi’ah dan sangat jinak kepadanya. Mereka bermain bersama. Tiba-tiba, Hasan al-Basri muncul dan mendekati Rabi’ah. Seketika binatang-binatang buas tersebut menampakkan wajah buasnya dan pergi meninggalkan Hasan suatu hari Rabi’ah melakukan perjalanan haji ke baitullah Mekkah dengan menaiki unta. Di tengah jalan, unta yang dinaiki tersebut mati. Langsung saja, Rabi’ah berdoa kepada Allah. Tidak lama setelah itu, untanya hidup kembali. Rabi’ah pun melanjutkan perjalanan hingga sampai ke baitullah dan pulang dengan menaiki unta yang sama, unta yang pernah mati itu. Ketiga, suatu malam ada dua orang teman Rabi’ah yang datang kerumahnya. Mereka hendak melakukan diskusi bersama dengan Rabi’ah. Na’asnya, rumah Rabi’ah tidak memiliki lampu penerang. Lalu Rabi’ah meniup ujung jari-jarinya hingga kemudian mengeluarkan cahaya yang terang dan menerangi seluruh rumahnya sepanjang malam. Dengan demikian, mereka bisa berdiskusi hingga pagi hari. Keempat, pada suatu malam rumah Rabi’ah didatangi oleh tamu yang tidak diundang. Tamu tersebut hendak mencuri pakaian Rabi’ah. Ketika sudah mengangkut semua baju Rabi’ah dan hendak kabur, pencuri tersebut bingung karena tidak menemukan pintu keluar. Namun, ketika sang pencuri meletakkan barang curiannya tersebut, ia menemukan ada pintu keluar. Sang pencuri mengulang perbuatannya itu –mengambil dan meletakkan barang Rab’iah- sebanyak tujuh kali. Hingga akhirnya sang pencuri mendengar ada hatif suara tanpa rupa yang mengatakan; Wahai manusia, jangan engkau persulit dirimu sendiri. Perempuan ini telah mempercayakan dirinya kepada Kami selama bertahun-tahun. Setan pun tidak berani mendekatinya. Mendengan suara itu, pencuri tersebut lari terbirit-birit tanpa membawa secuil barangpun dari rumah Rabi’ suatu hari Hasan al-Basri mengajak Rabi’ah al-Adawiyah untuk salat di atas air. Rabi’ah merespons ajakan Hasan itu dengan sebuah jawaban yang ketus. Bagi Rabi’ah, adalah tidak perlu menunjukkan kemampuan spiritual untuk mencari kepopuleran duniawi. Tidak hanya itu, Rabi’ah kemudian melemparkan sajadahnya dan terbang di atasnya. Ia mengajak Hasan untuk naik di atas bersamanya sehingga lebih banyak orang yang mengetahuinya, daripada hanya sekedar salat di atas air. Hasan tahu jawaban yang diutarakan Rabi’ah itu adalah sindirian. Mendengar hal itu, Hasan hanya kelima cerita di atas, tentu masih banyak lagi kisah-kisah yang menceritakan tentang karomah Rabi’ah al-Adawiyah. Namun satu yang perlu diketahui bahwa karomah yang diberikan kepada Rabi’ah adalah tanda bahwa Allah memberkahinya. A Muchlishon Rochmat
Robiah al adawiyah, dalam konsep mahabbahnya mengungkapkan, bahwa Tuhan bukanlah dzat yang harus ditakuti, melainkan dzat yang harus didekati dan dicintai. Untuk dapat mencintai dan dekat dengan Tuhan, maka manusia harus banyak berdzikir kepada-Nya, beribadah dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi[8][8]. Allah swt.

Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan. Tuhan memberi kita dua kaki untuk berjalan, dua tangan untuk memegang, dua telinga untuk mendengar dan dua mata untuk melihat. Tetapi mengapa Tuhan hanya menganugerahkan sekeping hati pada kita? Karena Tuhan telah memberikan sekeping lagi hati pada seseorang untuk kita mencarinya. Itulah namanya Cinta. Ada 2 titis air mata mengalir di sebuah sungai. Satu titis air mata tu menyapa air mata yg satu lagi,” Saya air mata seorang gadis yang mencintai seorang lelaki tetapi telah kehilangannya. Siapa kamu pula?”. Jawab titis air mata kedua tu,” Saya air mata seorang lelaki yang menyesal membiarkan seorang gadis yang mencintai saya berlalu begitu sahaja.” Cinta sejati adalah ketika dia mencintai orang lain, dan kamu masih mampu tersenyum, sambil berkata aku turut bahagia untukmu. Jika kita mencintai seseorang, kita akan sentiasa mendoakannya walaupun dia tidak berada disisi kita. Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasa sanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya. Perasaan cinta itu dimulai dari mata, sedangkan rasa suka dimulai dari telinga. Jadi jika kamu mahu berhenti menyukai seseorang, cukup dengan menutup telinga. Tapi apabila kamu Coba menutup matamu dari orang yang kamu cintai, cinta itu berubah menjadi titisan air mata dan terus tinggal dihatimu dalam jarak waktu yang cukup lama. Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan. Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggal dunia , lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya . Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan dibenakmu itu sekarang selagi ada hayatnya. Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas kurniaan itu. Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat -Hamka Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan kamu tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintamu kepadanya. Hal yang menyedihkan dalam hidup adalah ketika kamu bertemu seseorang yang sangat berarti bagimu. Hanya untuk menemukan bahawa pada akhirnya menjadi tidak bererti dan kamu harus membiarkannya pergi. Kamu tahu bahwa kamu sangat merindukan seseorang, ketika kamu memikirkannya hatimu hancur berkeping. Dan hanya dengan mendengar kata “Hai” darinya, dapat menyatukan kembali kepingan hati tersebut. Tuhan ciptakan 100 bahagian kasih sayang. 99 disimpan disisinya dan hanya 1 bahagian diturunkan ke dunia. Dengan kasih sayang yang satu bahagian itulah, makhluk saling berkasih sayang sehingga kuda mengangkat kakinya kerana takut anaknya terpijak. Kadangkala kamu tidak menghargai orang yang mencintai kamu sepenuh hati, sehinggalah kamu kehilangannya. Pada saat itu, tiada guna sesalan karena perginya tanpa berpatah lagi. Jangan mencintai seseorang seperti bunga, kerana bunga mati kala musim berganti. Cintailah mereka seperti sungai, kerana sungai mengalir selamanya. Cinta mampu melunakkan besi, menghancurkan batu, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta ! Permulaan cinta adalah membiarkan orang yang kamu cintai menjadi dirinya sendiri, dan tidak merubahnya menjadi gambaran yang kamu inginkan. Jika tidak, kamu hanya mencintai pantulan diri sendiri yang kamu temukan di dalam dirinya. Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setitis embun yang turun dari langit,bersih dan suci. Cuma tanahnyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus,tumbuhlah oleh kerana embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh kepada tanah yang subur,di sana akan tumbuh kesuciaan hati, keikhlasan, setia budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.~ Hamka Kata-kata cinta yang lahir hanya sekadar di bibir dan bukannya di hati mampu melumatkan seluruh jiwa raga, manakala kata-kata cinta yang lahir dari hati yang ikhlas mampu untuk mengubati segala luka di hati orang yang mendengarnya. Kamu tidak pernah tahu bila kamu akan jatuh cinta. namun apabila sampai saatnya itu, raihlah dengan kedua tanganmu,dan jangan biarkan dia pergi dengan sejuta rasa tanda tanya dihatinya Cinta bukanlah kata murah dan lumrah dituturkan dari mulut ke mulut tetapi cinta adalah anugerah Tuhan yang indah dan suci jika manusia dapat menilai kesuciannya. Bukan laut namanya jika airnya tidak berombak. Bukan cinta namanya jika perasaan tidak pernah terluka. Bukan kekasih namanya jika hatinya tidak pernah merindu dan cemburu. Bercinta memang mudah. Untuk dicintai juga memang mudah. Tapi untuk dicintai oleh orang yang kita cintai itulah yang sukar diperoleh. Satu-satunya cara agar kita memperolehi kasih sayang, ialah jangan menuntut agar kita dicintai, tetapi mulailah memberi kasih sayang kepada orang lain tanpa mengharapkan balasan.*

Diajuga memiliki kecintaan yang sangat besar kepada Allah. Dia dikenal sebagai perempuan yang sangat menjaga kesuciannya. Pe rempuan tersebut adalah Nyi Ratu Junti. Dalam Babad Cirebon Carub Kandha Naskah Tangkil diceritakan bahwa Nyi Ratu Junti selalu menolak untuk bersentuhan dengan laki-laki. Dia juga menghindari lak-laki yang berharap agar Karena berwajah cantik dan memiliki tubuh indah, tak jarang Rabi’ah pun turut menjadi penari penghibur di acara pesta pora yang diadakan majikannya. JERNIH—Berbilang dari esa, mengaji dari alif, sebuah pepatah lama mengatakan. Selalu ada awal untuk segala sesuatu. Sebelum mencapai derajat kezuhudan yang terkenal melampaui ruang dan waktu, hingga sampai kepada kita semua hari ini, kehidupan Rabi’ah Al-Adawiyah banyak menderita penderitaan dan kemalangan. Sejak kanak-kanak hidup miskin, belum lagi menginjak usia dewasa, perempuan bernama asli Ummul Khair itu harus berpisah dengan sang ayah, Ismail, untuk selama-lamanya. Karena kebutuhan, Rabi’ah terpaksa harus bekerja sebagai pembantu kepada saudagar kaya yang berperilaku lalim. Malangnya, ia pun sering menjadi mangsa nafsu setan tuannya itu. Bukan sekali dua Rabi’ah menerima pukulan dan deraan manakala menolak melayani. Karena cantik dan memiliki tubuh indah, tak jarang Rabi’ah pun turut menjadi penari penghibur di acara pesta pora yang diadakan majikannya. Namun, kehidupan Rabi’ah berubah, berawal dari sebuah perjumpaan. Usai menari, seorang ulama sufi tak dikenal mendekati Rabi’ah al-Adawiyah. Ia pun berbisik pelan tentang kehidupan kekal dan abadi setelah ini. Diingatkanya pula akan keberadaan Tuhan yang Maha Kuasa serta perjumpaan setiap hamba kepada-Nya tanpa membawa apa pun kecuali perbuatannya sewaktu di dunia. Teguran itu menyadarkan Rabi’ah al-Adawiyah dari tidur panjangnya selama ini. Saban hari direnunginya perkataan sufi itu. Hingga akhirnya Allah meniupkan Nur Ilahi ke lubuk hatinya yang paling dalam. Sepenuh tekad, Rabi’ah berjanji tidak akan mengulangi lagi segala jenis laku maksiat yang pernah ia lakukan, meski terpaksa. Rabiah bahkan siap menanggung siksaan demi siksaan untuk tetap konsisten istiqomah pada sikapnya. Kini ia menapaki terminal pertama dalam ajaran tasawuf, yaitu taubat nasuha, sembari dibarengi membersihkan hati dari noda lahir dan batin. Walaupun berulangkali tubuhnya dihajar hingga babak belur dan siksaan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Namun, semuanya ia terima. Sama sekali tiada satu pun bujukan majikannya mampu mempengaruhi keimanannya yang kini tegak, berdiri kokoh. Akibat sikapnya yang tegas, Rabi’ah al-Adawiyah dijebloskan ke dalam gudang kumuh penuh kotoran. Tapi, ia justru amat bersyukur, karena dengan begitu ia bisa leluasa beribadah dan bermunajat kepada Allah sampai pagi tiba. Tiap kali kerinduannya kepada Allah membuncah tak terbendung, ia pun menyenandungkan munajat-munajat sarat makna. Sejarah mencatat beberapa syair yang memilukan dan menyentak hati setiap pecinta itu “Ilahi. Sesudah aku mati. Masukkanlah diriku ke dalam neraka. Dan jasmaniku memenuhi seluruh ruangan neraka. Sehingga tidak ada orang lain yang dapat dimasukkan kesana.” “Ilahi. Bilamana aku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku. Bilamana aku menyembah-Mu karena gairah nikmat surga. Maka tutuplah pintu surga selamanya untukkuâ€Ļ Tetapi, bila diriku menyembah-Mu karena Dikau semata. Maka jangan larang diriku untuk menatap keindahan-Mu yang abadiâ€Ļ” “Ilahi, apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di dunia ini, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu. Dan apa pun yang Engkau karuniakan kepadaku di akhirat nanti, berikanlah kepada kekasih-kekasih-Mu, karena Engkau sendiri cukuplah bagiku.” “Ilahi, segala upaya keinginanku, kesibukanku dan kesenanganku di dunia ini adalah hanya untuk mengingat-Mu. Dan segala hal yang akan datang di akhirat nanti hanyalah untuk menemui-Mu. Inilah diriku yang sebenarnya, sebagaimana yang telah kunyatakan ; sekarang, perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki.” “Aku mengenal cinta Sejak aku mengenal cinta-Mu Hatiku telah terkunci bagi selain-Mu Aku selalu siap mendesahkan nama-Mu Duhai, kau Yang Melihat Seluruh rahasia-rahasia setiap hati Sedang aku yang tak bisa menatap wajah-Mu” “Duhai kegembiraanku Duhai rinduku, Duhai tambatan hatiku Duhai manisku, Duhai Nyawaku, duhai Dambaanku Engkaulah Ruh Jiwaku, Engkaulah Harapanku Engkaulah Manisku Rasa Rinduku kepada-Mu adalah nafasku” “Duhai Engkau, andai aku tanpa-Mu, Duhai hidupku, Duhai Manisku Aku tak kan menyusuri jalan terbentang di pelosok negeri-negeri Oh. Betapa banyak anugerah, kenikmatan dan pertolongan-Mu” “Tetapi kini cinta-Mu lah dambaanku, dan keindahanku Dan pandangan Mata-Mu kepadaku adalah dahagaku Tanpa-Mu hidupku tak bergairah Bila Engkau rela, Duhai dambaan jiwaku” “Aku mencintai Mu dengan dua cinta Cinta karena hasrat diriku kepada-Mu Dan cinta karena hanya Engkau yang patut dicinta Dengan Cinta hasrat, aku selalu sibuk menyebut nama-Mu Dengan Cinta karena Diri-Mu saja, Dan tidak yang lain Itu karena aku berharap Engkau singkapkan Tirai Wajah-Mu Biar aku bisa menatap-Mu seluruh Tak ada puja-puji bagi yang ini atau yang itu Seluruh puja-puji untuk-Mu saja” Rabi’ah al-Adawiyah wafat di usianya yang ke-86. Basrah adalah tempat dirinya lahir dan dikebumikan. Ketika di pembaringan, dia menolak segala jenis pengobatan dari siapa pun. Yang ia butuhkan hanya penerimaan dari Allah SWT akan shalat dan amal ibadahnya. Fariduddin Aththar menulis, sebelum mangkat menjumpai Sang Kekasih, di pembaringannya Rabi’ah berkata,”Mohon pergilah dulu kalian semua dari sisiku. Kosongkanlah ruangan ini khusus untuk Baginda Rasulullah SAW,” kata dia meminta. Maka semua yang melayat pun beranjak keluar dari kediaman Rabi’ah. Sejurus kemudian, mereka semua mendengar suara dari dalam rumah. “Wahai jiwa-jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku!” QS al-Fajr 27-28. Dengan rasa penasaran, orang-orang bergegas kembali masuk ke dalam rumah. Namun, mereka mendapati bahwa Rabi’ah al-Adawiyah telah berpulang dengan damai. [dsy] Suatuketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya. Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi'ah memandang ayahnya seraya berkata, "Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepada kami." Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi'ah. RABIAH Al-Adawiyah membuat banyak syair tentang cinta kepada Allah atau mahabbatullah. Sejumlah ulama pun terinspirasi dari syair Rabiah Al-Adawiyah. Berikut 10 syair Rabiah Al-Adawiyah. Syair-syair Rabiah Al-Adawiyah tersebut dikutip dari berbagai para ulama. Syair pertama Rabiah Al-Adawiyah Jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka-Mu bakarlah aku di dalamnya Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu haramkanlah aku daripadanya Namun jika aku menyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu jangan palingkan wajah-Mu dariku Syair kedua Rabiah Al-Adawiyah Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu hingga tak ada satu pun yang menggangguku dalam menjumpai-Mu Bintang gemintang berkelip-kelip manusia terlena dalam buai tidur lelap pintu-pintu istana pun telah rapat Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri aku gelisah apakah amalanku Engkau terima sehingga aku merasa bahagia ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa bersedih Baca juga Lima Puisi Cinta Allah Sufi Wanita Rabiah Al-Adawiyah Demi ke-Maha Kuasaan-Mu inilah yang aku akan lakukan selama Engkau beri aku hayat Sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu aku tidak akan pergi karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku Syair ketiga Rabiah Al-Adawiyah Alangkah buruknya orang yang menyembah Allah lantaran mengharap surga dan ingin diselamatkan dari api neraka Seandainya surga dan neraka tak ada apakah engkau tidak akan menyembah-Nya? Aku menyembah Allah lantaran mengharap rida-Nya nikmat dan anugerah yang diberikan-Nya sudah cukup menggerakkan hatiku untuk menyembah-Mu Syair keempat Rabiah Al-Adawiyah Ilahi, sesudah aku mati masukkanlah diriku ke neraka dan jasmaniku memenuhi seluruh ruangan neraka Dengan begitu tidak ada orang lain yang dapat dimasukkan ke sana Syair kelima Rabiah Al-Adawiyah Kau bermaksiat kepada Tuhan namun kau mengungkapkan cinta hal ini sungguh mengherankan Andai cintamu benar niscaya kau menjadi hamba yang taat karena pecinta itu sungguh taat kepada kekasihnya Syair keenam Rabiah Al-Adawiyah Ilahi, segala upaya keinginanku, kesibukanku, dan kesenanganku di dunia ini hanya untuk mengingat-Mu Dan segala hal yang akan datang di akhirat nanti hanyalah untuk menemui-Mu Inilah diriku yang sebenarnya sebagaimana yang telah kunyatakan sekarang perbuatlah seperti yang Engkau kehendaki Syair ketujuh Rabiah Al-Adawiyah Aku mencintai-Mu dengan dua macam cinta Cinta karena diriku dan cinta karena Engkau layak dicinta Dengan cinta karena diriku Kusibukkan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu dan bukan selain-Mu Baca juga Sajak Cinta Allah Sufi Wanita Rabiah Al-Adawiyah Bagian II Sedangkan cinta karena Engkau layak dicinta Di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu agar aku dapat memandang-Mu Namun, tak ada pujian kepada diriku Segala pujian hanya untuk-Mu Syair kedelapan Rabiah Al-Adawiyah Semua menyembah-Mu karena takut neraka Mereka menganggap keselamatan darinya sebagai bagian untung melimpah Atau mereka menempati surga Lalu mendapatkan istana dan meminum air Salsabila Bagiku tidak ada bagian surga dan neraka aku tidak menginginkan atas cintaku imbalan pengganti Syair kesembilan Rabiah Al-Adawiyah Aku mengabdi kepada Tuhan bukan kerena takut kepada neraka bukan pula karena ingin masuk surga namun aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya Syair kesepuluh Rabiah Al-Adawiyah Ya Allah, apa pun yang akan Engkau Karuniakan kepadaku di dunia ini berikanlah kepada musuh-musuh-Mu Dan apa pun yang akan Engkau Karuniakan kepadaku di akhirat nanti berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu Karena Engkau sendiri cukuplah bagiku OL-14
KaramahRabiah al-Adawiyah. Saat mendengar kata "wali perempuan" pasti bayangan pertama yang muncul adalah Rabi'ah Al-Adawiyah. Memang nama satu ini oleh dunia dikenal sebagai wanita yang sangat dekat dengan Tuhannya. Rabiah adalah gambaran sufi perempuan yang zuhud, sama sekali tidak tertarik dengan dunia dan mempunyai mahabbah yang
RābiĘžah al-AdawiyahBORN c. 713 â€ĸ Basra, IraqDIED c. 801 â€ĸ Basra, IraqIraqi religious leader; poet; mysticRābiĘžah al-Adawiyah was an eighth-century Muslim mystic, or a person concerned with religious mysteries. She is considered a saint of Islam, a virtuous and holy woman who was also able to perform miracles. RābiĘžah, a founding member of the branch of Islam called Sufism, established the principle of mystical love, or the pure love of Allah, as a path to knowing Allah. She rejected the notion that punishment or heavenly reward motivated religious devotion. RābiĘžah was also one of the most prominent early Sufi poets, leaving behind many verses and prayers that became part of the literature and oral tradition of Life of povertyRābiĘžah was born about in 713 ce to the Al-Atik tribe of Qays clan and died, by most accounts, in 801. Her name means "fourth daughter" in Arabic. Other variations of her name include RābiĘžah al-Qaysiyya and RābiĘžah al Basri RābiĘžah of Basra, after her hometown."If I adore You out of fear of Hell, burn me in Hell! / If I adore You out of desire for Paradise, / Lock me out of Paradise. / But if I adore You for Yourself alone, / Do not deny to me Your eternal beauty."Little was written about RābiĘžah during her lifetime. Much of the legend in existence comes from the thirteenth century and the writings of Sufi mystic and poet Farid al-Din Attar. In his Tadhkirat al-Awliya or Biographies of the Saints, he related the words of RābiĘžah, who left no written documents herself. Attar says that RābiĘžah was "on fire with love and longing" and that she was considered "an unquestioned authority to her contemporaries."Most sources note that RābiĘžpah was born into a poor household. Indeed, the family was so poor that on the night of RābiĘžah's birth, her father was sent out to beg for oil for the lamps. He had made a promise, however, to ask for assistance from no one but Allah and came back without any oil. That night, the Prophet Muhammad c. 570–632; see entry came to RābiĘžah's father in his sleep and told him not to worry, for his newborn daughter was destined to be a great Muslim saint. The prophet also told him that the local emir high official had failed to pray as a good Muslim should and that RābiĘžah's father should demand money from the emir as punishment. The money was supposedly paid, but it seems that this was the last bit of good luck the family had. Soon after, RābiĘžah's parents both died, famine struck Basra, her three older sisters moved away, and RābiĘžah was left on her time later RābiĘžah was sold into slavery as a house servant, although accounts vary as to how this occurred. Some sources claim she was traveling in a caravan when it was attacked by robbers and taken prisoner. Most others report that she was walking down the streets of Basra one day and was kidnapped. After RābiĘžah finished her daily chores, she would turn to prayers and meditation on Allah. Her religious calling was confirmed one day when she fell in the street and dislocated her wrist. She was trying to avoid allowing a stranger to see her without her veil, which was forbidden for pure Muslim women. Praying to Allah at that moment, she was answered with a voice that said on the day of reckoning she would be among the select to sit near Allah in this experience RābiĘžah became increasingly religious. She practiced asceticism, or self-denial, living in a very simple manner as a means of gaining higher spiritual powers. Some ascetics wore clothing that scratched their bodies in order to remind them of their duty to God. Some also fasted or ate very little. RābiĘžah, according to legend, fasted during the day while working and then prayed much of the night. On one such night, her master happened upon her in the midst of prayer. He saw her bathed in a golden light called the sakina, something like a halo that marks a Christian saint. The next day he gave RābiĘžah her freedom, and she left to meditate in the of meditationRābiĘžah soon established herself in the desert not far from Basra, where she lived a quiet life of prayer. She did not feel it necessary to have a teacher or other holy person direct her in her quest for Allah. Rather, she went directly to Allah for such teachings and inspiration. RābiĘžah found no comfort in organized religion with its officials and rituals. She once said of the Muslim House of God, the famed KaĘžaba, in Mecca, that she had no use for a house. It was the master of the house who interested belief in a direct knowledge of Allah placed her in the early ranks of mystical Sufis. From the time of the founding of the Islamic religion, there were believers who wanted a deeper experience than that provided by the simple adherence to the five pillars of Islam professing faith, saying prayers five times daily, giving support to the poor, fasting during Ramadan, and making pilgrimage to Mecca. These people, like RābiĘžah, wanted direct communication with Allah. They attempted to establish it through continual prayer, reading of the QurĘžan, and focusing on Allah. They fasted, did not engage in sex, and repented for their makes a SufiThe term Sufi most likely comes from the Arabic word for the coarse wool many of these ascetics used for their robes. It was first seen in the literature of Islam during the eighth century, during RābiĘžah's lifetime. As Sufism evolved, two main concepts came to dominate that branch of Islam tawakkul, or a total reliance on God, and dhikr, a continual remembrance of, or focusing on, Allah. Sufism combined elements of Christianity and Hinduism with its own distinctive Islamic Sufism had a harsh, gloomy tone. RābiĘžah, however, brought joy to the obedience to and love of Allah. RābiĘžah looked to Allah not only as a master but also as a friend and companion. She was the first Sufi to preach that love and only love was the key to the mystic path. She also scorned the reward and punishment system of heaven and hell. One of her poems, translated by Charles Upton and published in Doorkeeper of the Heart Versions of RābiĘžah, states, "I love God I have no time left / In which to hate the devil."RābiĘžah was also famous for a legend in which she was reportedly seen carrying a flaming torch in one hand and a bucket of water in the other. She explained in a poem published in Doorkeeper of the Heart "With these things I am going to set fire to heaven / And put out the flames of hell / So that voyagers to God can rip the veils / And see the real goal." RābiĘžah meant that a person should not worship Allah out of fear of hell or in hopes of heaven. One should worship because one loved Allah. The emotions of fear and hope were like veils that kept the true vision of Allah al-BasriRābiĘžah was a resident of the city of Basra, located in the far southeast of modern-day Iraq, near the Persian Gulf. Founded in 636, the city was an important military and trading site. Also called Bassorah, the city was mentioned in Thousand and One Nights as the place where Sinbad the Sailor began his voyages. The city was called the "Venice of the Middle East," because of the series of canals that once flowed through the city at high tide. Basra was also a center for the cultivation of dates and date palm RābiĘžah's lifetime, Basra was only about a century old, but was already famous in Islam as a home to many well-known Sufis. One of the most famous of these was Hasan al-Basri 642–728. Hasan was born one year after the death of the Prophet Muhammad and moved to Basra when it was still a primitive military encampment. As a young man this famous mystic scholar served as a soldier of Islam from 670 to 673 and participated in the conquest of eastern his return to Basra, Hasan quickly became a well-respected religious figure, preaching the importance of a permanent state of anxiety in the true believer. He claimed that such anxiousness was caused not by the certain knowledge of death, but by an uncertainty about what awaited a person after death. He also preached religious self-examination, which he said led to an avoidance of doing evil and an emphasis on doing good. Most importantly, Hasan believed that humans were responsible for their own actions and could not, therefore, blame such actions on the will of appeared in many of the legends dealing with RābiĘžah. Her belief in the importance of love was the opposite of Hasan's emphasis on fear and hope as twin motivators for the faithful Muslim. According to one legend, Hasan asks RābiĘžah to marry him. When he is unable to answer a series of questions she puts to him, she declines the offer. Another legend tells of how Hasan, seeing RābiĘžah near a lake, decides to display his miraculous powers. He throws a prayer rug onto the water and invites her to pray with him on it. Unimpressed, she responds, as quoted by Farid al-Din Attar, "Hasan, when you are showing off your spiritual goods in the worldly market, it should be things which your fellow men cannot display." Then she throws her prayer rug into the air and flies up to sit upon it, inviting him to join her. The old man simply looks at her sadly. She feels badly for him then, and says, "Hasan, what you did fishes can do, and what I did flies can do. But the real business is outside these tricks. One must apply oneself to the real business." There is little chance these tales are true, however, as RaābiĘžah was only eleven at the time of the death of the older Sufi master and had not yet become an teachingSuch wisdom won RābiĘžah followers, though she never developed a system of teaching. Later thinkers, however, found a logical organization in RābiĘžah's way of seeking Allah. This path began with tawba, or repentance, asking forgiveness of one's sins and turning from wrong actions to right ones. However, such repentance deals only with individual actions each sin is repented after being committed. Instead, RābiĘžah focused on a more general, divine tawba, seeing repentance as a gift from God, whom she called the Healer of Souls. "If I seek repentance myself," RābiĘžah taught, "I shall have need of repentance again."In order to achieve real "tawba," two qualities were needed sabr, or patience, and shukr, or gratitude. Patience, in turn, required an end to complaint and desire. RābiĘžah's prayers were free of desires and expressed a simple, grateful acceptance of whatever happened in put little emphasis on rajaĘž, or hope, and khawf, fear, as motivating factors on the path to spiritual enlightenment. Instead she focused on mahabba, or love, the ascetic principle offaqr, or poverty, and zuhd, the giving up of anything that distracted one from the path to Allah. She believed that all of this led to tawhid, or the joining of the personal self with RābiĘžah maintained a solitary existence throughout her life, she did have conversations with some of the other Muslim thinkers of the day and advised people who came to visit her. As an old woman, she possessed only a cracked jug, a mat made from stiff plants, and a brick that served as her pillow. She slept little at night, instead praying and meditating, and became angry with herself if she fell asleep for a short time and thus lost precious minutes or hours of devotion to Allah. In one tale, RābiĘžah refused to go out and admire nature on a fine spring day, saying that she would rather contemplate the beauty of Allah in the darkness of her dwelling. She never married, though it was reported she had many miraculousDespite her disregard for the rituals of Islam, RābiĘžah went on at least one pilgrimage to Mecca now in Saudi Arabia in order to visit the House of God, the KaĘžaba, the most sacred place in Islam. It also lies in the direction toward which Muslims face to pray each day. According to legend, while RābiĘžah was on her way to Mecca and traveling in the company of other pilgrims, her donkey died and she was left without transportation. She told the others to continue on their way, refusing their offers of help. She said she would rely solely on Allah for assistance. One version of this tale claimed the donkey came back to life after RābiĘžah prayed for a week. Another stated that the KaĘžaba actually came to her. She was unimpressed, however, saying that she wanted the master of the house and not simply the house. Though reportedly capable of performing miracles, RābiĘžah distrusted them and believed them to be the devil's the end of her long life, RābiĘžah became recognized as a saint. Islam, like many religions, has a high opinion of such holy people. They are called awliya, which literally means "Friends of Allah." Unlike the Catholic Church, Islam has no official process for conferring sainthood, but there are certain beliefs as to which conditions lead to sainthood. To be considered, a person must have a strong faith, follow the traditions laid out by the Prophet Muhammad, possess an excellent moral character, display an ability to perform certain miracles or marvels, and, finally, be accepted by other Muslims as a she died in 801, RābiĘžah passed into legend. Many stories have been told of her great deeds and the thousand times each day she knelt to pray. Movies have been made of her life. Her name is still used by followers of Islam to praise an exceptionally religious More InformationBOOKSal-Adawiyah, RābiĘžah. Doorkeeper of the Heart Versions of RābiĘžah. Translated by Charles Upton. Putney, VT Threshold Books, Farid al-Din. Muslim Saints and Mystics Episodes from the "Tadhkirat al-Awliya" "Memorial of the Saints". Translated by A. J. Arberry Ames, IA Omphaloskepsis, 2000. Also available online at Sakkakini, Widad, and Nabil Safwat. First Among Sufis The Life and Thought of RābiĘžah al-Adawiyah, the Woman Saint of Basra. London, England Octagon Press, Annemarie. "RābiĘžah al-Adawiyah." Encyclopedia of Religion. 2nd ed. Edited by Lindsay Jones. Detroit, MI Macmillan Reference USA, Margaret. Muslim Women Mystics The Life and Work of RābiĘžah and Other Women Mystics in Islam. Oxford, England Oneworld Publishing, SITESLochtefeld, James G. "Stunningly Brief Introduction to Sufism." Sufism. accessed on May 22, 2006."RābiĘžah al Basri." Poet Seers. accessed on May 22, 2006.
vvILVbq.
  • 09uojna4yi.pages.dev/89
  • 09uojna4yi.pages.dev/319
  • 09uojna4yi.pages.dev/75
  • 09uojna4yi.pages.dev/167
  • 09uojna4yi.pages.dev/361
  • 09uojna4yi.pages.dev/239
  • 09uojna4yi.pages.dev/365
  • 09uojna4yi.pages.dev/80
  • 09uojna4yi.pages.dev/396
  • kata kata rabiah al adawiyah